[Vape : Sebuah Pengingat]
Pertama, ini bukan suatu
argumentasi atau pemecahan filosofis yang argumentatif. Apa yang
dituliskan disini tidak berlandaskan apapun dan juga tidak ditujukan
untuk menyalahkan maupun membenarkan apapun.
Kedua, karena hal pertama, tulisan ini hanya didasarkan suatu pemikiran kecil tentang nostalgia masa lalu.
Ketiga, Meskipun menulis bebas, tapi pengaruh kuliah filsafat tetep aja kental di tulisan ini. So, Maaf ya...
Keempat, Kalo males baca, langsung skip ke bagian akhir aja.
Kelima, PLS BACA NJENG, BUDAYAKAN LITERASI!!! JANGAN JADI PENERIMA DOGMA, MATI KAU DALAM KEKOSONGAN NANTI.
-Kronologis-
Jadi, malam ini entah mengapa memori tentang pertama kali gue nyoba vape teringat. Waktu itu, gue maen kesemarang kan, sekalian reuni sama temen-temen SMA (padahal baru satu semester kuliah). Terus abis reunian, gue dijemput sama si bud(panggilan akrab), temen akrab gue dari SD. Pas masuk mobil, itu posisi Bud udah megang vape kan, sambil sebal-sebul. Akhirnya, penasaranlah gue sama vape-vape ini. Posisinya, si Bud ini punya dua device, yang satu Wismec 2/3 sama Dagger. Si Dagger ini, gw pakein terus tuh selama di Semarang. Singkat cerita, setelah gw cobain vapenya si Bud ini, kita maen ke vape store gitu di deket Undip. Pas main ke vape store, itu pertama kalinya gue ngerasain atmosfir vape store. Didalemnya tuh berasep-asep tipis gitu, soalnya lagi sepi. Ada counter kecil gitu dari kaca, buat kasir sekaligus showcase. Disitu gw dikenalin sama ownernya gitu kan, soalnya dia jaga juga. Pas gw ngeluarin modnya, doi kaget, soalnya gabiasa newbie mod pertamanya Dagger wkwk. Nahh, disitu gw juga belajar banyak tentang coiling, apa itu vape, nikotin dari vape, jenis liquid, sampe atomizer. Iya, baru sampe atomizer, soalnya gue pemula banget dan dunia vape sangat luas cuy. Abis ngobrol-ngobrol, akhirnya sampai dimana gue milih liquid pertama. Gue cobain kan, macem-macem, dari yang ada mintnya lah, ada yang bungkusnya dari batu, ada yang rasa buah-buah, dll. Pada akhirnya, hati gw jatuh sama satu liquid, namanya Vapester. Gue masih inget itu rasanya sampe sekarang. Awalnya gue ga ngenalin ini rasa apa, tapi emang rasanya paling beda dan paling asik dari semua liquid. Sampe-sampe, ini liquid gw isepin terus selama batere masih ada powernya. Pokoknya cinta banget deh sama ini liquid.
Ga lama setelah itu, selesai
liburan, gue balik lagi ke Jakarta. Selama vaping di Jakarta ini, nyari
Vapester itu susah sekali. Dan pada akhirnya, beberapa bulan kemudian,
Bud maen ke Jakarta dan bawa si Vapester ini. Masih bermodal Dagger, gue
semangat banget kan ketemu cinta pertama gue dalam dunia vape, gue
drip-drip dengan penuh khidmat, terus gue pake. Tapi, rasanya ini beda
jauh dari rasa pertama gue isep Vapester. Entah kenapa, rasa yang
dulunya spesial jadi nggak begitu asik lagi. Beberapa bulan kemudian,
Bud dateng lagi dengan Vapesternya, dan setiap kali gw coba, rasanya
makin berkurang terus. Hal spesial yang ada di Vapester ini udah ga sama
seperti gue cobain pertama kali. Hingga sekarang, Vapester ini ga lebih
dari salah satu liquid enak yang pernah gw coba.
-Pengingat-
Dari memori ini, gue bertanya-tanya,
Kenapa hal yang dulunya menarik dan spesial, menjadi makin biasa dan makin biasa?
Apa emang manusia ditakdirkan untuk tidak pernah puas?
Untuk selalu mencari lebih dari apa yang dimiliki?
Sering
gue denger tentang rasa syukur akan kenikmatan. Tapi rasa syukur ini
tidak bisa mengembalikan kesenangan dan kenikmatan dari pengalaman
pertama. Oke, gue bersyukur gue masuk UI, dengan bersyukur, gue merasa
cukup. Tapi, dengan bersyukur, gue gabisa ngerasain seberapa senengnya
gue diterima di UI.
Dari pengalaman-pengalaman ini, gue
ngeliat bahwa, hal pertama itu asik karena ketidak tahuan. Saat masih
kecil, banyak sekali yang ga kita tau. Apa itu motor? Gimana cara naik
sepeda? Kalau naik motor susah nggak? Gimana cara pakai sumpit? Dll,
pertanyaan khas anak kecil. Seiring berjalannya waktu,
pertanyaan-pertanyaan ini terjawab. Seiring waktu juga, jawaban
pertanyaan akan semakin komprehensif dan mendetail. Rasanya aneh, tetapi
makin banyak terjawabnya pertanyaan, seolah kehidupan semakin
membosankan. Lebih keren lagi jika diungkapkan, "Bagaikan kekosongan
yang penuh".
Tapi, kenapa baru muncul sekarang?
Kenapa gue baru merasa makin bosan menjelang usia 20?
Kenapa masa kecil gue lebih berwarna dan bahagia dibanding sekarang?
Gue
menyalahkan kotak. Ya, kotak yang tidak membesar. Sewaktu kecil, gue
merasa tidak terbatas. Gue selalu bisa menemukan pertanyaan dari
semuanya, selalu bebas bertanya tentang semuanya. Tidak ada tuntutan
dalam bertanya, tidak dikejar oleh nilai-nilai.
Seiring waktu
berjalan, partikel-partikel kecil dari kehidupan membentuk pagar-pagar.
Suatu batasan dimana gue gabisa ngelewatin pager itu. Semakin lama,
pagar semakin tinggi, menutup pandangan gue akan hal yang tak terbatas.
Pada akhirnya, pagar itu menutupi langit, menutupi satu-satunya sisa
dari pandangan gue. Pagar itu membentuk kotak. Kotak yang selamanya
tidak akan pernah membesar. Kotak yang selalu mengokohkan dirinya.
Gue
gabisa bergerak tanpa batas lagi, gabisa melihat tanpa batas dari balik
pagar, gabisa menengok langit tempat gue bermimpi. Yang gue bisa lihat
hanyalah pagar yang makin kokoh dan gagah. Disaat itulah, gue kehabisan
pertanyaan. Semua yang gue butuhkan ada dalam lukisan didalam pagar itu
yang entah dilukis oleh siapa. Lukisan itu tiba tiba muncul begitu saja.
Lukisannya sangat jelas, sangat terbatas. Bikin gue ga penasaran
tentang apapun didalam lukisan itu. Dan gue yakin, kotak inilah
penyebabnya. Penyebab kekosongan.
Ada suatu ide dari buku The
Little Prince yang gue suka, "Kau boleh tumbuh dewasa, tetapi jangan
melupakan masa kecilmu". Kemudian, suatu kutipan terkenal dari almarhum
Steve Jobs, "Stay Foolish, Stay Hungry". Dalam pandangan gue, dua ucapan
ini memiliki makna yang sama. Alasan kenapa kita merasa kosong dalam
kehidupan, mungkin karena, gue melupakan yang tak terbatas. gue
melupakan anak-anak dalam diri gue. gue terkukung oleh kotak yang
menutup segalanya. Kotak yang terbuat dari tuntutan orang lain. Kotak
yang dibuat oleh tuntutan sistem ekonomi, tuntutan akademis, tuntutan
negara, dll.
Anak-anak selalu polos dan tidak tau apa-apa.
Anak-anak selalu lapar dengan jawaban.
Anak-anak dapat melihat yang tak terbatas.
-Jawaban-
Seiring berjalannya waktu, kewajiban dan tuntutan semakin banyak. Tetapi, kewajiban dan tuntutan ini bukanlah hal yang seharusnya mengukung sang anak dalam jiwa gue. Jiwa manusia(khususnya gue) selalu anak-anak, hanya saja, ia anak-anak yang terkukung oleh kewajiban dan tuntutan, sehingga ia tidak bisa melihat lagi apa yang ia suka. Malam ini, gue sadar akan ketidak-mampuan gue untuk menyusun partikel ini menjadi bentuk lain. Mungkin, partikel ini sebelum menjadi kotak super kokoh, dapat diletakkan dengan posisi yang berbeda untuk menjadi bentuk berbeda.
Bukan
maksud tulisan ini mengatakan bahwa tuntutan itu buruk, menutup jiwa
anak-anak yang bebas dalam diri gue. Tetapi, gue sadar bahwa selama ini
gue "overwhelmed" dengan tuntutan dan kewajiban. Gue bingung, dari yang
dulunya sebebas-bebasnya, menjadi makin dibatasi dan dibatasi.
Gue
yakin, ga cuma gue yang ngerasa kosong dan bosan seperti ini, dan oleh
karena itu, gue berharap bisa bantu ngasih sudut pandang gue ke lo, dan
berharap lo, yang lagi baca ini, bisa merasakan lagi kebahagiaan murni.
Kebahagiaan anak-anak yang tertawa ria, dengan polosnya, bermain diranah
tak terbatas.
Penulis :
Komentar
Posting Komentar