Langsung ke konten utama

Cerpen Wajah Empat Sahabat


Wajah Empat Sahabat

Rahmah melempar tas sekolah ke lantai. Wajahnya merenggut kesal. Bunda yang sedang menggosok di ruang tengah, terlonjak kaget. “Eh, anak soleh bunda sudah datang. Kok salamnya nggak kedengeran,ya”, ia mematikan setrika, lalu menghampiri putrinya. “Assalamualaikum”, gadis kecil kelas empat SD itu, mengucapkan salam sambil cemberut. “Waalaikum salam warohmatulahi wabarokatuh”, ibunya tersenyum, “kenapa, cantik?”. Dan pecahlah tangis anaknya, “Rahmah sebel, Bunda! Rahmah nggak mau sekolah lagi!”. Perempuan separuh baya itu terkejut. “Hhmm.. memangnya ada apa, sayang?”, ia berusaha tetap tenang. Bukan menjawab, putri semata wayangnya itu, malah duduk di lantai sambil menangis keras. Percuma memintanya bicara dalam keadaan seperti ini. Lebih baik menunggu sampai tangisnya reda. Bunda ikut duduk di depan Rahmah. Diam. Tapi matanya memandang penuh kasih. Bibirnya tersenyum. Setelah beberapa menit, “Dea sama Carissa, musuhin Rahmah, Bunda”, ujarnya, disela-sela sisa tangis. “Mereka bilang, malu temenan sama Rahmah, karena tas Rahmah jelek. Gambarnya bukan Frozen lagi, nggak kompak”. Bunda geleng-geleng mendengarnya, “Jadi, kesayangan Bunda ini, nggak mau sekolah, cuma gara-gara tas”. “Bukan cuma itu, Bunda. Mereka selalu pamer kalau punya barang baru. Sengaja ngeledek. Bikin sebel!”, sanggah putrinya. Ibunya menarik nafas panjang, lalu bertanya pelan,”Setahu Bunda, kalian bertiga bersahabat , kan?”. Putri kecilnya mendengus marah, ”Mana ada sahabat kayak gitu. Rahmah nggak mau sahabatan lagi. Rahmah benci mereka berdua!”. Ibunya hampir saja tergelak melihat tingkah anak tunggalnya, tapi ditahan. Ia malah berkata lembut, “Cinta, pernah dengar cerita tentang Wajah Empat Sahabat?”. Rahmah menggeleng. Matanya membesar, ingin tahu. “Sini, duduk dekat Bunda”, lalu memeluk gadis kecilnya dengan penuh kasih sayang. “Di suatu tempat yang sangat indah, tersebutlah sebuah kerajaan, yang diperintah oleh seorang ratu, yang kecantikannya terkenal di seantero negeri. Rambutnya hitam lebat. Kulitnya putih bersih. Matanya bulat. Dan selalu tampak bercahaya. Seolah-olah ada ribuan bintang di dalamnya. Siapapun yang melihat ratu itu, pasti langsung merasa sayang. Karena wajahnya memancarkan kelembutan dan keramahan”, Bunda memulai kisahnya, “Ratu tersebut memiliki seorang sahabat yang sangat setia. Ke mana pun ia pergi, sahabatnya itu selalu menemani. Di manapun ratu berdiam, ia selalu ada. Mereka saling menyayangi. Tidak pernah sehari pun terlewat, tanpa memberikan perhatian satu sama lain. Bila ada sebuah delima, maka akan di bagi dua. Masing-masing mendapat setengah bagian. Begitupun pada acara jamuan teh. Ratu selalu mendahulukan sahabatnya. Setelah sahabatnya itu minum, barulah ia minum. Hari-hari mereka berdua hanya diisi dengan keceriaan. Senyum, tawa dan kegembiraan. Tidak pernah ada kesedihan. Hingga suatu hari, ratu bertemu dengan tiga teman baru. Dan segera saja mereka menjadi akrab. Hingga akhirnya mereka bersahabat. “Setelah punya sahabat baru, apa ratu masih mau bersahabat dengan sahabat lamanya, Bunda?”, Rahmah memotong, tidak sabar. Ibunya tersenyum, “Seharusnya bagaimana?”. “Yaaa,… harusnya sih, tidak meninggalkan sahabat lama. Itu kan, tidak baik”, gadis kecilnya menjawab ragu-ragu. “Betul. Tapi sayangnya, itulah yang terjadi”, lanjut Bunda,”Para sahabat barunya telah menyingkirkan sahabat lamanya. Ratu lebih senang bermain dengan sahabat-sahabat barunya. Kamu tahu kenapa? Karena menurutnya, mereka lebih segala-segalanya. Sahabat nomor dua, adalah sahabat yang sangat cerdas. Ia memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa. Tidak ada satupun pertanyaan yang tidak mampu dijawabnya. Menyelesaikan soal matematika, hanya butuh beberapa detik. Bingung masalah astronomi, tanyakan saja padanya. Akan dijawab tepat dan cepat. Sejarah, bahasa, persoalan sosial, hingga masalah hukum ketatanegaraan atau apapun juga, dalam sekejap akan tuntas terselesaikan. Kepandaiannya sungguh memukau. Bahkan setiap kali ratu itu punya masalah. Ia langsung mencari sahabatnya ini. Dan tentu saja, sahabatnya yang super jenius itu, selalu mampu memberikan jalan keluar. Sesulit apapun masalahnya. Pasti terpecahkan”. Rahmah memandang takjub,”Wow,..hebat sekali!”. Ibunya tertawa kecil, “Ya,..benar. Sangat hebat!. Karena itulah, ia selalu merasa nyaman bersama sahabatnya. Ia bahkan yakin, tanpa sahabat nomor dua, ia tidak akan mampu memimpin kerajaan. Tapi tunggu sampai kamu mendengar kelebihan sahabat nomor tiga. Sahabat yang satu ini, bukan hanya cerdas. Lebih dari itu, ia bisa memanfaatkan kepintarannya untuk hal yang tepat. Ia menggunakan ilmu matematikanya untuk membangun rumah. Membuat jembatan, kapal dan macam-macam perkakas. Ilmu biologi dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Baik tanaman hias, buah-buahan maupun sayur-sayuran. Dan semuanya tumbuh subur serta lebat. Bahkan ia membuat pupuk dengan ilmu kimia yang ia kuasai. Sahabat ini juga terkenal sebagai penyair yang tidak terkalahkan. Kehebatannya meramu kata, menjadi karya sastra yang indah, diakui semua kawan maupun lawan. Belum lagi ilmu fisika, yang membuatnya berhasil menemukan listrik. Sehingga menjadi energi utama, hampir semua alat elektronik yang ia rangkai. Dan ilmu-ilmu lain, yang telah mempermudah kehidupan di kerajaan itu”. Rahmah kembali terperangah, “Wah, ..yang ini lebih hebat lagi!”. Ibunya kembali tersenyum,”Ya, sayang, kamu betul. Sahabat nomor tiga memang lebih hebat. Dan hal ini membuat ratu merasa jadi hebat juga. Namun justru karena itu pula, sering terselip ketakutan di dalam hatinya”. Rahmah langsung bertanya, tidak mampu menyembunyikan keheranannya, “Kok takut?..kenapa, Bunda?”. “Tentu saja ia takut. Karena bila suatu saat sahabatnya itu meninggalkannya, dia tidak lagi merasa hebat”, jawab Bunda. Lalu diam beberapa saat. Menanti reaksi putri kesayangannya. Rahmah mengangguk-angguk. Kelihatan seperti sedang berpikir, kemudian berseru antusias,”Ayo lanjutin, Bunda”. “Nah, sekarang sahabat yang ke empat.”, Bunda kembali bercerita,”Dia sangat berbeda. Tidak terlalu pintar. Tidak bisa membuat alat apapun. Juga tidak mampu membantu memecahkan persoalan. Tapi, justru dia yang paling disayang. Bahkan sahabat nomor empat, adalah yang paling sering ratu pamerkan ke teman-temannya. Ia sangat bangga memilikinya. Pada sahabat kesayangannya inilah, ia berikan semua yang terbaik yang ia punya. Baju yang paling indah. Lukisan termahal. Makanan dan minuman yang sedap dan segar, dari seluruh pelosok dunia. Serta perhiasan mewah bertaburkan mutiara. Bahkan ia membuatkan ruangan khusus di dalam istana, hanya untuk sahabat kesayangannya. Para prajurit terbaik, ditugaskan untuk berjaga di sekitar ruangan tersebut. Tampaknya ratu betul-betul ingin menjaga sahabatnya sepenuh hati. Tidak ingin sahabatnya itu tersakiti, apalagi sampai terluka. Begitu sayangnya ia pada sahabat nomor empat, seolah seluruh dirinya tidak berarti tanpa sahabatnya itu. Memiliki tiga sahabat terbaik, membuat ratu merasa telah menggenggam seluruh dunia. Ia melalaikan sahabatnya yang paling setia. Sahabat nomor satu. Padahal sahabat ini tetap setia menemaninya kemanapun. Membersihkan jalan yang akan ratu lalui, agar kaki ratu tidak tertusuk duri atau semak belukar. Bahkan ketika ratu sedang bersantai di bawah sebatang pohon, sahabatnya yang setia ini, rela  menutup lubang tempat tinggal ular yang ada di bawah pohon tersebut, dengan tubuhnya. Sehingga punggungnya menjadi biru bengkak, karena digigit ular. Namun sebesar apapun pengorbanan dan rasa sayangnya pada sang ratu, tetap saja ia tidak dipedulikan. Malah sering dilupakan”. Rahmah menggumam sedih,”Kasihan ya”. Bunda meneruskan kisahnya,”Suatu ketika, ratu sakit keras. Penyakitnya sangat parah. Tidak ada satupun ahli pengobatan yang mampu menyembuhkannya. Ratu tahu, ia akan segera meninggal. Ratu ingin salah seorang sahabatnya menemaninya di kubur, supaya ia tidak sendirian. Maka ia memanggil sahabat kesayangannya. Sahabat nomor empat. Lalu berkata, wahai sahabatku, engkau tahu, engkau adalah sahabat yang paling aku sayangi. Aku memberikan semua harta terbaik di negri ini kepadamu. Bahkan aku membuatkan ruangan yang dikawal para prajurit terbaik, hanya untukmu. Kini, aku ingin engkau menemaniku di kubur. Sebagai tanda kesetiaan dan sayangmu padaku. Namun sahabat yang selama ini paling ia sayangi itu, malah menjawab ketus, “Maaf ratu, saya tidak mau. Lagipula saya tidak pernah meminta semua itu. Ratu lah yang memberikannya”. Lalu ia pergi. Betapa sakit hati ratu mendengar jawaban sahabatnya. Semua kemewahan yang telah ia berikan, sia-sia. Cahaya di mata ratu langsung redup. Seolah ribuan bintang di dalamnya, mendadak mati. Namun ratu teringat sahabat nomor tiga. Ia tersenyum. Segera ia memanggil sahabatnya tersebut. Dan menanyakan kesediaannya untuk menemani sang ratu di kubur. Tapi jawaban sang sahabat, malah lebih menyakitkan hati. “Apa? Ikut bersamamu ke kubur? Itu permintaan paling tidak masuk akal yang pernah ku dengar. Ratu, aku sangat dibutuhkan di dunia ini. Dengan segenap kepandaian dan kemampuanku, ada banyak orang yang tertolong. Mereka lebih membutuhkanku dibanding dirimu. Lagipula, sepeninggalmu nanti, ada ribuan orang yang bersedia menjadi sahabatku, untuk menggantikan dirimu. Maaf ratu, aku harus pergi. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan”. Lalu sahabatnya yang telah menjadikan ratu merasa dirinya hebat, meninggalkannya begitu saja. Senyum yang tadi sempat terkembang di bibir ratu, langsung lenyap. Hampir saja ia putus asa. Kemudian ia teringat pada sahabat nomor dua. Hatinya berharap cemas. Kesempatannya tinggal satu ini saja. Ia berdoa, semoga sahabatnya mau memenuhi permintaan terakhirnya. Namun, harapan tinggal harapan. Walau jawabannya tidak sekejam sahabat-sahabat sebelumnya, tetap saja sahabatnya yang selalu membuat ia merasa nyaman itu, menolak menemaninya di dalam kubur. Sahabatnya berkata dengan santun, “Sungguh hamba mohon maaf paduka ratu. Tapi tidak mungkin hamba menemani paduka ke liang lahat. Hamba hanya bisa menemani hingga ke pekuburan. Tidak bisa lebih dari itu”. Ratu terdiam. Hatinya terasa dingin. Sekarang terkuaklah wajah asli ketiga sahabatnya. Wajah yang selama ini ditutupi dengan sikap manis. Dan berubah drastis di penghujung hidup sang ratu. Keputusasaan mulai merayapi jiwanya. Ratu merasa sudah mati sebelum ia benar-benar mati. Tiba-tiba terdengar suara lirih, aku siap menemanimu ratu. Aku yang akan tetap setia menemanimu ke manapun. Jangankan hanya dalam kubur yang sempit dan gelap. Ke surga atau ke neraka sekalipun, aku akan tetap menemanimu. Ratu yang fisiknya sudah sangat lemah, berusaha menoleh kearah suara tadi, dengan susah payah. Dilihatnya sahabat setianya. Sahabat nomor satu, mendatanginya dengan wajah tulus. Badannya kurus kering, kurang gizi dan tidak terawat. Bajunya pun sudah penuh tambalan di sana sini. Bahkan beberapa robek besar, hingga tak bisa di tambal lagi. Air mata menetes, membasahi pipi ratu yang pucat. Ia baru teringat pada sahabatnya. Sahabat sejati. Yang selalu ia abaikan. Yang tidak pernah ia pedulikan. Penyesalan memang selalu hadir di belakang, Rahmah masih terkesima saat bunda mengakhiri kisahnya. “Sayang tahu siapa sebenarnya para sahabat ratu tersebut?”, dengan suara lembut ia bertanya pada putrinya. Gadis kecil itu menggeleng. “Sahabat ke empat adalah penampilan kita. Baju yang kita pakai, tas yang bagus, perhiasan dan semua yang kita lakukan, agar penampilan kita terlihat menarik. Sebaik apapun kita merawatnya, agar tetap sempurna, semua itu akan meninggalkan kita suatu hari. Tidak ada manusia yang muda terus, kan. Kalau sudah waktunya, kulit yang indah akan pergi, diganti dengan kulit keriput. Tas, baju, perhiasan yang mewah dan bagus, tidak akan ikut bersama kita ke dalam kubur. Hanya kain kafan yang membalut tubuh kita. Sahabat nomor tiga adalah ketenaran, kekuasaan dan kekayaan. Tidak peduli seberapa bangga, kita memiliki semuanya itu, semua akan menjadi milik orang lain saat kita meninggal. Jadi tidak perlu bangga kalau kekayaan yang kita miliki saat ini, hanya untuk pamer dan menyakiti hati orang miskin”. Rahmah langsung menimpali, “Iya bunda, kayak Dea ama Carissa, tuh! Tukang pamer!”. Perempuan bijaksana itu langsung mengelus rambut anaknya dengan lembut,”Belum tentu juga sayang, bagaimana kalau kita pikir seperti ini saja, mereka seperti itu karena terlalu senang. Bukan karena ingin menyakiti hati kita.”. Rahmah terdiam, lalu bertanya. “Trus sahabat kedua itu apa Bunda?”, tanyanya lagi. Ibunya menjawab tenang,”Sahabat kedua adalah teman, saudara, orangtua, anak…nah sedekat dan senyaman apapun kita saat berada bersama mereka, tetap saja mereka tidak mungkin ikut dikubur bersama kita. Mereka punya takdir sendiri-sendiri. Justru yang akan selalu bersama kita adalah sahabat sejati kita, sahabat nomor satu, yaitu ruh. Ruh telah ada bersama kita sejak dalam kandungan. Sebelum tubuh kita terbentuk sempurna. Ia yang setia menemani, hingga ke kubur. Bahkan ke surga dan neraka. Karena tubuh kita ini hanya titipan. Tempat ruh menetap selama berada di dunia. Namun seringkali kita lalai merawatnya. Kita biarkan ruh itu kelaparan, kotor tidak terurus. Karena kita terlalu sibuk mengurus urusan lainnya, seperti penampilan, supaya tetap eksis, misalnya”. Rahmah mengeryitkan dahi, bingung,”Memangnya ruh bisa dirawat ya, Bunda? Bagaimana caranya?”. Bunda tersenyum lebar mendapat pertanyaan yang sangat cerdas,”Oh, tentu saja bisa. Caranya, dengan sholat, membaca Qur’an, berzakat, zikir dan melakukan amalan-amalan ibadah lain, yang Allah perintahkan. Dengan begitu, ruh kita akan bersih, tercukupi kebutuhannya. Dan Insya Allah, kelak akan menjadi teman yang menyenangkan di dalam kubur dan surga. Begitu, sayang”.  Rahmah menatap bundanya, “Tapi ada satu lagi yang belum Bunda jelaskan”. Bunda terkesiap,”Apa ya, kan sudah semua disebutkan tadi”. “Ratu! Siapa ratu itu sebenarnya?”, tanya putrinya sambil tersenyum nakal. “Oooh, iya..Bunda lupa..maaf ya cantik. Subhanalah..anak soleh bunda, ternyata teliti juga”, ujar perempuan berlesung pipit itu kagum, “Coba, menurut sayangku..kira-kira..siapa ya ratu itu?”. Rahmah berpikir sebentar, lalu berseru, “Diri kita sendiri!”. Bunda bertepuk tangan, “Tepat sekali! Ihhh,..kamu pintar ya!”, dicubitnya pipi Rahmah yang bulat seperti bakpau. “Iya dong…Rahmah gitu loh!”, gadis kecil itu menepuk dadanya. “Ehemm..kalau ada yang memuji,,harusnya bilang apa ya?”, ibunya menjentikkan jari telunjuk ke dagu, pura-pura berpikir. Rahmah tersenyum malu, “Alhamdullilah!”. “Nah, sekarang gimana, masih sibuk ngurusin tas, atau..”, pancing Bunda. Rahmah langsung meneruskan,”Enggak Bunda, ..Rahmah mau lebih perhatian sama si sahabat setia. Mulai sekarang, Rahmah mau lebih rajin ngaji, sholat dan puasa. Itu dulu aja, nggak apa-apa kan Bunda?”. Ibunya mengangguk senang, “Ya, sudah…sana mandi dulu. Bau nih!”. Gadis kecilnya langsung menuju kamar mandi. Tidak lama kemudian, dari dalam kamarnya, terdengar lantunan suara kecilnya yang merdu, membaca surat An Naba.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GOWOK... novel Kamasutra dari tanah Jawa

Gowok, Tradisi Mengasuh Pria Agar Makin Jantan dan Mampu Memuaskan Wanita Lahir dan Batin Tradisi yang satu ini mungkin dianggap cukup tabu dan tak banyak orang yang mau terbuka membahasnya. Namanya tradisi gowok. Tradisi yang konon berasal dari Tiongkok dan tiba di Jawa ini bisa dibilang tradisi untuk mengajari remaja laki-laki bisa menjadi seorang pria dewasa. Dewasa yang dimaksud di sini dalam artian bisa memahami seluk beluk tubuh perempuan. Ehm, makin penasaran kan? Ada sejumlah cerita menarik terkait tradisi yang satu ini. Bahkan ada novel yang dibuat dengan latar tradisi gowok yang begitu fenomenal. Selengkapnya, yuk ikuti sejumlah info menariknya di sini. Tradisi Ini Konon Dibawa oleh Wanita Bernama Goo Wook Niang Adalah Goo Wook Niang, sosok wanita Tiongkok yang disebut telah membawa tradisi yang disebut Gowok ke Jawa. Mungkin kamu sudah bisa menduga dari mana nama gowok berasal. Yaps, gowok diambil dari nama Goo Wook Niang sendiri. Karena lidah orang Jaw...

APA???

MO NULIS APA? Sering nggak "mentok" kayak gini? bingung mo nulis apaan. Demi mempraktekkan apa kata para senior, nulis aja, buat waktu tetap untuk menulis, paksakan diri untuk menulis, apa aja! Well, dan sekarang aku nulis, walaupun nggak tahu mo nulis apa! Yang penting udah nulis.  Sebetulnya aku lagi gemes sama masalah bullying! Dan lebih sebel lagi, sama guru2 sok pinter, yang nangani bullying dengan cara super salah, tapi ngotot udah paling  bener! Guru2 kayak gini nih, yang bikin generasi muda  Indonesia hancur! Jadi kalo ada korban karena kasus bullying di sekolah, yang pertama2 harus di minta pertanggungjawaban, ya pihak sekolah! Mereka yang paling bertanggung jawab untuk hal itu! Well, karena tugas Cinderella sudah menunggu, aku sambung lagi besok ya! Janji, harus nulis lagi besok! Salam Upik Abu

Nadila - Salahkan aku